Kerugian Kebakaran Hutan Gambut Setara Biaya Membangun Istana Kerajaan Inggris


Kebakaran lahan gambut merupakan salah satu masalah lingkungan paling serius yang dihadapi Indonesia. Setiap tahun, ribuan hektar lahan gambut yang terbakar menimbulkan kerugian dari segi ekonomi, kesehatan, hingga lingkungan. Fenomena ini telah terjadi selama beberapa dekade dan meskipun berbagai upaya telah dilakukan namun kebakaran lahan gambut masih terus berulang.
Pada tahun 2015, kebakaran lahan gambut mencapai puncaknya dengan total 2,67 juta hektar lahan yang terbakar. Ini adalah salah satu kebakaran terburuk dalam sejarah Indonesia, kebakaran ini menghasilkan asap tebal yang menyelimuti sebagian besar wilayah Asia Tenggara. Kebakaran tersebut menghancurkan sebagian lahan pertanian, mengganggu transportasi, dan merusak berbagai infrastruktur. Selain itu, jutaan orang terkena dampak kesehatan akibat asap beracun yang dihasilkan.
Empat tahun kemudian, pada 2019. Berbagai upaya mitigasi telah dilakukan namun kebakaran kembali terjadi dengan intensitas yang cukup besar. Lahan Gambut seluas 711.927 hektar terbakar menyebabkan kerugian ekonomi mencapai US$5,2 miliar atau setara Rp72,95 triliun. Angka ini menunjukkan betapa mahalnya biaya yang harus ditanggung akibat kebakaran lahan gambut, belum lagi dampak jangka panjang terhadap lingkungan yang sulit untuk dipulihkan.
Memasuki awal tahun 2024, hingga Bulan Februari total seluas 10.900 hektar lahan gambut telah terbakar. Meskipun angka ini jauh lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kenyataan bahwa kebakaran masih terus terjadi menunjukkan bahwa masalah ini belum sepenuhnya teratasi. Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa kebakaran besar bisa kembali terjadi jika langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif tidak segera diimplementasikan.
Salah satu alasan utama mengapa kebakaran lahan gambut selalu dibicarakan setiap tahun adalah karena lahan gambut memiliki karakteristik yang membuatnya sangat rentan terhadap kebakaran. Lahan gambut merupakan tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik yang sangat kaya akan karbon. Ketika lahan gambut kering, ia menjadi sangat mudah terbakar, dan api dapat menyebar dengan cepat, bahkan di bawah permukaan tanah, membuat pemadaman menjadi sangat sulit.Banyak lahan gambut di Indonesia telah dialihfungsikan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Proses alih fungsi ini seringkali melibatkan pengeringan lahan gambut, yang memperburuk kerentanannya terhadap kebakaran.
Praktik pembukaan lahan dengan cara pembakaran meskipun ilegal tetapi masih banyak dilakukan karena dianggap cara yang murah dan cepat. Padahal dari hasil Riset World Resources Institute didapatkan hasil bahwa setiap hektar lahan Gambut Tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton CO2 setiap tahun, kurang lebih setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin, menambah beban emisi karbon yang signifikan. Kebakaran lahan gambut juga berdampak besar terhadap keanekaragaman hayati. Hutan Gambut menjadi habitat bagi 45% mamalia dan 30% burung yang masuk ke dalam daftar hewan terancam punah, serta lebih dari sepuluh spesies tanaman endemik seperti meranti, ramin, dan kayu ulin hanya dapat hidup di ekosistem lahan gambut. Ketika kebakaran terjadi, banyak spesies kehilangan tempat tinggal mereka. Ini berkontribusi pada penurunan keanekaragaman hayati dan mempercepat laju kepunahan spesies.
Kebakaran lahan gambut adalah masalah kompleks yang memerlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Integrasi lahan gambut dengan tanaman vegetatif dan pengembangan sektor peternakan menjadi cara mengembangkan sumber penghasilan alternatif bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Upaya itu juga menjaga kesehatan lahan gambut, melindungi tanaman lokal dan menyediakan pangan dan habitat untuk binatang. Hal ini yang juga sudah dilakukan oleh Tim Agri Muda Foundation, dengan pendekatan sektor agrikultur berkelanjutan. Tim Agri Muda Foundation melakukan pendampingan kepada masyarakat yang hidup di sekitar lahan gambut Provinsi Riau, Jambi, Palembang hingga Kalimantan bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Republik Indonesia (BRGM RI). Saat ini total masyarakat yang telah diberdayakan sudah lebih dari 800 masyarakat melalui program Inkubasi Bisnis Peternakan Sapi berkaitan dengan Good Farming Practices (GFP) berupa tata kelola kelembagaan, pengolahan pakan fermentasi, pembuatan mineral blok, manajemen pemeliharaan hingga pendampingan akses permodalan usaha dari CSR perusahaan sekitar. Melalui pendampingan inkubasi bisnis, diharapkan masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup mereka secara berkelanjutan tanpa merusak lingkungan.
Tim Agrimuda Foundation juga akan terus membuka peluang kolaborasi dengan berbagai pihak, seperti pemerintah, akademisi, dan lembaga nirlaba (NGO), untuk memastikan program pemberdayaan ini berjalan dengan efektif dan berkelanjutan. Mari bersama-sama berkomitmen untuk melindungi sumber daya alam kita dan mencegah terjadi kebakaran Hutan Gambut.
Proses pemadaman sisa-sisa kebakaran lahan Gambut oleh Masyarakat Peduli Api (MPA) di Provinsi Kalimantan Tengah (dokumentasi pribadi)